Posted by: Muhammad Ismail Faruqi | June 13, 2007

Pekarangan dan Pagar Asrama: Amanah yang Terabaikan

Asrama ini adalah amanah yang dititipkan pemiliknya kepada kita. Tentang hal ini, kita pasti telah sepakat. Masalahnya, ada beberapa area yang sepertinya hancur, yakni pagar depan dan pekarangan.

Masalahnya kita sudah tahu, yakni anak-anak yang bermain di sana. Anak SMP bermain sepak bola, bola menghantam pagar, pagar rusak. Bola ditendang ke teras, teras kotor. Bola tertendang ke kaca, untung kacanya tidak pecah.

Itu baru pagar depan. Masalah taman ada lagi. Anak kecil bermain air kran sepanjang hari. Pekarangan botak jadinya, kalau tidak dibilang rawa-rawa. Sampah dibuang disana-sini. Ibu-ibu yang tidak mengingatkan, bahkan ketawa-ketiwi. Malah pernah yang bikin lesehan a la “piknik” di pekarangan kita, dengan sampah yang dibuang begitu saja di pekarangan.

Ditambah lagi nenek-nenek yang entah darimana datangnya, setiap hari melepas dua ekor ayamnya di paving block. Halaman kita jadi kandang ayam, lengkap dengan tahi-tahinya.

Nasib penghuni asrama setali tiga uang. Piket pekarangan paling dihindari, disisakan untuk krida. Alokasi orang tidak berimbang, mengirim satu orang untuk membersihkan kapal pecah bernama pekarangan dan teras. Yang paling parah, ada kenyataan yang terbalik:

ANAK-ANAK MALAHAN PIKET MEMBERSIHKAN ASRAMA KITA!

Apa kita dan mereka tidak sama sakitnya! Kewajiban membersihkan pekarangan ada pada kami, bukan pada kalian, anak-anak! Jangan sangka karena kalian piket, kalian bebas menghancurkan asrama ini! Wahai penghuni asrama, kemana piket pekaranganmu! Gara-gara kau tidak membersihkan halaman, kita jadi kehilangan kedaulatan di pekarangan kita sendiri!

[Uqi]


Responses

  1. Btw kemarin saya baru aja ngamuk 2 kali ke anak2 SMP, minta dihajar rupanya mereka. Malam-malam teriak-teriak bikin ribut orang lagi belajar, siang-siang bermain bola dengan destruktifnya di taman terlarang itu. Saya labrak saja meski ada 3 orang tuanya di tempat yang sama.

    Pendekatan “kultural” makan waktu lama rupanya. Sebelum anak-anak sadar, pekarangan kita pasti sudah botak dan pagar depan kita bolong-bolong.

    Saya sering kecewa pada kalian anak asrama karena minim support saat saya ‘memarahi’ anak-anak itu. Minimal kalian menemani saya, kenapa?

    Kalau mereka main lagi akan saya tendang bolanya jauh-jauh. Dan kalau keempat kalinya, saya akan gembok pagar depan. Minggu ini akan saya pesan sebuah papan larangan dengan uang asrama.

  2. Pendekatan kultural makan waktu lama?
    Pertanyaannya, pendekatan kultural apa yg sudah qt lakukan? Ane rasa qt belum melakukan pendekatan kultural apapun! Cuma ngobrol sama anak2, ngajak main bola bareng, itu belum cukup utk dibilang pendekatan kultural. Selama ini qt cuma menyampaikan larangan2 dengan sopan santun, tapi apa itu sudah dilakukan mendalam & intens, dengan sarana2 kultural yg mereka anut? Belum! Qt belum sampai memberi pemahaman mendalam kepada mereka, apalagi kepada orang tua mereka. Jadi, jangan terburu2 bilang pendekatan kultural gagal, kalau qt sendiri belum pernah melakukannya.

    TIndakan antum yg represif seperti itu, apa terbukti menyelesaikan masalah? Oke mungkin dengan begitu anak2 jadi takut & masalah pekarangan selesai. Tapi apa tdk terpikir akan timbul masalah2 lain? Mungkin gara2 antum kegiatan2 sosial qt jadi terganggu, timbul omongan macam2 di kalangan warga, dll. Apa itu yg namanya penyelesaian masalah yg paling tepat?

    Antum harusnya sadar qt tinggal di lingkungan yg cara berpikirnya beda dengan qt. Mereka bukan orang2 intelek yg punya sopan santun & tata krama tinggi. Jd perlu kerja ekstra dalam menanamkan pengertian/pemahaman kepada mereka. Selama ini kan usaha kita dalam mendekati mereka gitu2 aja & tidak sampai menyentuh mereka, ya kan?

    Tambahan, salah satu ciri orang intelek adalah emosinya tidak meledak2. Seorang tokoh kafir di Indonesia pernah menghina umat Islam secara eksplisit di majalah Tempo, bahwa orang Islam kayak badak yang kalau disenggol dikit mukanya langsung merah, naik pitam, terus ngamuk2 enggak keruan. Menurut saya memang begitulah kebanyakan orang Islam sekarang. Ada masalah dikit langsung bakar sana bakar sini, sweeping orang2 asing, merusak pagar kedutaan2 asing, bukannya mendahulukan cara2 elegan yg lebih intelektuil. Kita, sebagai Muslim yang intelek, harusnya tdk seperti itu. Kalau memang mengaku cerdas, harusnya kita bisa menemukan puluhan solusi lain yg tidak emosional, tapi lebih efektif.

    Solusinya:
    1. Kalau ada yg bikin kotor pekarangan lagi, ya larang aja tapi baik2, tdk usah emosional. Mungkin besoknya mereka bikin ulah lagi, ya kita larang lagi. Itulah yg namanya proses sosialisasi (tanya aja sama anak sosial tuh!). Sabar aja, sambil melakukan solusi yg ke-2.
    2. Kita harus berpikir keras bersama2 untuk melakukan pendekatan KULTURAL yg sesungguhnya, yg intens & berkelanjutan. KULTURAL artinya dengan menggunakan kultur kesundaan biar lebih menyentuh mereka.

    Ayo Akhi, masalah ini harus dipandang sebagai salah satu tantangan terbesar kita. Kalo masalah ini aja gak bisa ditangani, gimana nanti mau menghadapi masalah bangsa? Qt future leaders kan? Am I wrong?
    Kalau tetap seperti ini, tdk terbayang akan setinggi apa emosi kita nantinya, waktu harus menangani masalah bangsa yg jauh jauh jauh lebih menyebalkan. Mungkin kita akan menjadi pemimpin yang darah tingginya kumat setiap hari.

  3. mm.. ckck..

    begitulah potret diri kita, asrama kita, masyarakat kita, bangsa kita..

    mm..

    @Brother Uqi
    Santai dikit lah bro.. Itung-itung latian sabar..
    Mungkin aja bener kita belum pernah melakukan pendekatan kultural,
    tapi ane rasa antum telah mengawali secara konkret pendekatan kultural
    kita.

    Tersenyum kepada anak-anak dan ibu-ibu lalu berkata :
    “Ayo adik-adikku sayang.. jangan main di atas rumput ya.. kan kasian
    rumputnya nanti pada mati.. nanti pekarangannya tidak indah lagi dan
    kalian jadi ga bisa main disini lagi.. :)”

    “Ayo ibu-ibu, mari kita bersama-sama menjaga lingkungan. Bantu kami
    menjaga kebersihan lingkungan, menjaga tanaman.. dan memiliki taman
    yang indah buat dinikmati bersama.. Iya kan? Yuukk..;)” (Sambil
    mencontohkan memungut sampah dan mengatur tanaman..)

    Atau :

    Tampang pasang garang dan berkata :
    “ANAK2!! DILARANG MAEN DISINI!! KALIAN KERJAANNYA NGERUSAK AJA TAU!!
    IBU2NYA JUGA NIH!! BUKANNYA JAGAIN ANAK2NYA MALAH IKUT2AN NGOTORIN AJA! EMANG INI TANAH MBAH LU !!” .. Jangan kira ini bukan pendekatan kultural.. Ini pendekatan kultural juga loh.. tapi kultur ala preman pasar.. Kita ga gitu kan? hehe.. 🙂

    Hidup akh uqi!! Telah mencontohkan kita untuk segera bertindak!!
    Ayo yang laen, konkret lah kau! 🙂

    @PPSDMS..? {- mending pake login sendiri
    Sepakat aja deh.. hidup PPSDMS!!

  4. @ppsdms:
    Ya makanya. Mana pendekatan kultural yang telah didengungkan sejak 10 bulan yang lalu? Gak konkrit. TPA al-Barokah, satu-satunya program sosial kita, pengajar yang datang saja bolong-bolong, keluh Aep, ketua TPA. Gak konkrit. Mana piket pekarangan? Gak konkrit.
    Ngomong baik-baik? Saya sih sudah. Tanya saja sama Yunus. Ke anak SMP sudah. Ke anak kecil sudah. Ke ibu-ibu juga sudah. “Mendekati dengan kultur kesundaan” adalah sebuah solusi? Pah. Kenyataannya, saya sulit setengah mati mengajak kalian menemani saya ngomong baik2 dalam bahasa Indo waktu itu. Kalian malah mendahulukan pertandingan Persib, saya masih ingat betul.
    Maka dengan keadaan berikut:
    1. Saya sudah ngomong baik2 dengan support yang minim,
    2. Piket pekarangan yang tidak jalan, dan
    3. Rendahnya pemahaman penduduk sekitar
    Ya sudah kemarin lusa sore saya intimidasi saja anak-anak SMP di depan orang tuanya. Efeknya, kemarin pagi ibu2 menyuruh anaknya membersihkan pekarangan, suatu kewajiban yang seharusnya kita lakukan.
    Mengenai pandangan orang-orang, saya lebih suka dipandang sebagai orang yang galak dan kasar tapi melindungi asrama ini, daripada dipandang sebagai orang mencla-mencle, tidak punya kedaulatan di pekarangan sendiri.

  5. Siram kepala Uqi pake batu es…. siram kepala PPSDMS….biar gak pada emosi… 🙂
    Relax, men!
    Saya setuju sama…….. Uqi or PPSDMS ya? Yang mana aja deh yang sesuai sama akhlaq Rasul qt tercinta.
    Akhlaq Rasul gimana sih waktu menghadapi orang Badui yang kencing di mesjid, waktu diludahi tetangganya & dihina, dikejar2 & diusir dari Makkah seolah2 “gak punya kedaulatan di kampung halaman sendiri”? Ada yg bisa kasitau saya gak?

  6. kalo kita make cara yang keras, bukannya tidak mungkin mereka akan malah mencemooh kita, dan saya dah merasakan sendiri hal itu secara langsung, justru ini membuat bahwa kita tidak punya pengaruh lagi pada mereka. mereka malah bahkan leih berani lagi kepada kita………percaya deh………

  7. @Ahmad Fikri:

    Beda. Itu masjid punya rasul dan para sahabatnya sendiri. Tapi asrama ini, apa punya kita? Kecuali kalau ada jaminan bahwa yang punya asrama ini berakhlak sama seperti Rasulullah, <i>”terserah rumah gw mau digimanain, yang penting dakwah jalan”</i>, itu lain perkara. Kalau itu benar, saya bakal minta maaf ma anak2 SMP yang sudah saya labrak, terus mempersilakan mereka main ampe pekarangan ancur, termasuk nenek2 kalau mau bikin kandang ayam sekalian di sini.

    Btw gimana setuju gak, saya mau pesan papan larangan bermain. Atau saya beli gembok depan. Kan enak, pekarangan gak rusak, sementara kita bisa menjalankan pendekatan “kultural” itu

  8. @Ismail Faruqi:
    Aduh maksud saya bukan soal itu mesjid punya Rasul atau bukan (btw, mesjid itu punya umat, Bro!), tapi esensinya adalah menerapkan, atau setidaknya mencoba menerapkan akhlaq Rasul dalam berbagai situasi yang kita hadapi, apapun kasusnya, gak harus sama persis sama kasus Badui mengencingi mesjid dll itu. Gitu, lho…

    Usul papan larangan bermain bisa dipertimbangin tuh, diomongin aja ke temen2 kalo ada kesempatan.

    Oke ya, no more emotional atmosphere, ya!

  9. Ga Gini ya ga seru.. 😀

    Udah akh uqi, hajar aja!

    FIkri juga, kalo ga emosional ga akan jadi pemimpin. Sok ekspresikan emosi mu!
    (Tapi emosi yang positif aja ya. hehe.. 😀 ).

    Ane sepakat kita segera mesen papan. Akh uqi ane dukung lah. Hajar!
    Beli! Pasang aja! 😀

    Tapi usulnya sih papannya jangan yang contentnya permanen,
    tapi yang edit-able. Tiang tegak, papannya bisa dicopot2.
    Jadi isinya bisa kita ganti, kita cat ulang atau tinggal copot pasang.
    ga melulu larangan, tapi justru kata-kata hikmah
    yang harusnya selalu kita ucapkan tapi kita cape ngucapin terus (kultur
    sunda buat pendekatan ke mereka, kan bagus tuh, tapi kita cape, nah
    kita delegasikan aja tugas itu ke papan. 🙂 )

    Misal isinya :
    Selamat datang di taman yang indah dan bersih, ayo kita jaga kebersihan
    taman kita. :D. Nah itu disundain aja bahasanya.

    Atau Menulis di batu akan abadi, mendidik anak akan terpatri. 😀
    Keteladanan amal berkata seribu bahasa.
    (biar ibu-ibunya pada sadar gitu, n kita2 juga pastinya.)

    “Ingat peradaban besar timbul dari paradigma yang besar.”
    “Lihatlah nilai paradigma seseorang dari lintasan-lintasan pemikirannya.”
    “Lintasan pemikiran adalah hal yang paling sering terucap.”

  10. Oke ya Ji kalo harus emosional, gw bales kata2 lo! Dengerin nih…
    Pemimpin emang harus punya emosi, tapi juga harus tau kapan menggunakan emosinya. Kalo di sebuah komunitas suasananya lagi panas, trus pemimpinnya ikut2an panas, itu sama aja nyiram bensin ke atas kompor meleduk!
    Kalo suasananya terlalu adem ayem tuh, baru deh si pemimpin harus ciptain atmosfir emosional biar semangat.
    Diseimbangkan lah…..
    Bener gak?

    Eh kok jadi out of topic gini?
    Iya setuju lah sama usulnya Aji!

  11. brother baca baik2 dong..

    emosi yang positif aja,,

    manusia itu tidak bisa terlepas dari emosi, dan emosi
    itu justru harus selalu terasah dan kuat.

    pemimpin2 besar kalau sudah sampai taraf tertentu
    ga hanya pake otak aja ngambil keputusan buat rakyatnya,
    tapi justru warna emosi akan sangat terasa disana..

    tapi sekali lagi bro.. emosi positif. 🙂

  12. oooohhh…. oke deh, emosi positif! setuju lah kalo gitu!

  13. astaghfirullah

    Sepertinya pertandingan makin memanas sodara-sodara.

    nawarin solusi nih:

    solusi 1
    inget ceritanya abu bakar al miski (kalo ga salah ya). dia ngotorin dirinya sendiri biar “sang musuh” menjauhinya. kita juga gitu yu…taroh aja kotoran kita/sampah-sampah/persib di pekarangan kita.pasti mereka kabur.ha ~X
    (sorry yang ini ga solutif)

    solusi 2
    kita kasih batu-batuan di sana. yang pasti bocah2 ga bakalan mau maen bola di tempat yang ada batunya. sakit kaliii… bisa kapalan lho!!

    solusi3
    kita coba tanem lagi tanaman & bunga-bunga. kalo yang kali ini pake pot. biar bocah2 juga sadar kalo pekarangan kita tuh daerahnya tanaman. walaupun pot-nya ga ada tanemannya n cuma tanah sekalipun insya Allah mereka akan terusir dengan sendirinya. atau malah disiramin sama mereka (asal jangan seperti badui – jangan sampe yaa!!)
    bisa dicoba???

    salam dari pecinta perdamaian! piss

  14. assalamu alaikum.
    sahabatku yang baik dan kucintai karna Allah. antum kenapa?? rame banget n_n. kok saling tuduh begitu.?? ada yang ngatain emosi, kurang keras, pake emosi positif, membangun peradaban ….. ya Allah … coba nanti kita bicarakan baik2 dan bareng2 ya … ssssssttt blog kita itu diliat jutaan orang lho ….
    [[[maaf sahabat pembaca… ini lagi simulasi cara memimpin masyarakat]]] Ternyata menjadi pemimpin itu ga gampang ya :). mimpin anak2 teh susah ueuy… apalagi mimpin masyarakat dan bangsa ini. wah … masya Allah …
    yu … kita sama-sama kenalan sama mereka. minimal menyempatkan waktu ngajar mereka ngaji, berilah mereka ilmu agama dan akhlaq walaupun sedikit. sesuai dengan kemampuan kita. mari kita makmurkan TPA ini. insya Allah, lama-lama kalo mereka dekat dan akrab dengan kita, mereka akan malu dan nurut. bukankah “batu itu berlubang akibat tetesan air yang lembut??”
    afwan ya sahabatku …
    mereka itu masih anak-anak. ana pun dulu merasakan hal yang sama. pernah dimarahi ma yang punya rumah dimana tempat ana main.
    ya … mau main dimana lagi. taman ga ada. yang ana pingin (waktu kecil) adalah kebersamaan dan keakraban serta senyuman para penghuni rumah itu. (kok jadi curhat ya he he)
    yu … mulai sekarang kita budayakan senyum dan sikap ramah. dan yang penting jangan lupa tuk nyapa mereka (anak2, ibu2, ..). pesen tuk yang ngajar TPA : Tetap Istiqomah ya … Sekarang kita lagi menumpuk bata2 yang akan menjadi rumah peradaban yang madani. Mulai dari asrama, masyarakat sekitar, kampus, hingga negara, bahkan dunia. insya Allah. amin.
    wassalam.

  15. “Batu berlubang kalau istiqomah ditetesin air sedikit demi sedikit”
    Hmm…. apa gak kelamaan tuh ^_^
    kenapa gak biar cepet berlubang tetesannya diperbesar dan dipersering aja, atau ngapain juga kalau mau ngelubangin batu harus ditetesin air, dikepruk aja pake palu kan beres dalam semenit he2..

    Nah Saya setuju banget sama ukq, mengenai kurang kongkretnya kita dalam melakukan pendekatan kultural..coba tanya diri kita masing-masing…dimana kita berada ketika ada waktu kosong, Saya yakin banyak dari antum yang lebih memilih menghabisi waktu diluar, jarang banget kalo siang yang ada di asrama, apalagi kalo libur

    Nah itu menunjukan ada hal lain yang antum diamanahkan ditempat lain, nah tapi kita inget juga ini rumah bukan punya Kita (PPSDMS) ini punya orang INGET…

    Kalo antum pingin kongkret ngelarang anak2 yang main yah sekali lagi mari dari awal Saya tekankan kita buat kesepakatan dulu di FORKITA…dari dulu udah hampir 1 tahun kesepakatan itu aja susah sekali…Inget kata2 Ustadz Taufik akhi ketika pertama mengadakan forkoma bulanan…Beliau sebenarnya sudah memberikan legitimasi untuk melarang anak-anak bermain di lapangan kalau dirasa menganggu

    Kalo mau tanamin tanaman di depan juga dicabut ntar kayak kasus mengkudunya si Fikri, kalo dilarang main di halaman, mereka kadang kalo kita gak liat nekad main juga…

    Saya pernah melihat dengan mata kepala Saya sendiri bagaimana ibu2 nya juga gak peduli sama kelakuan anaknya yang tidak baik… Pernah ketika habis solat saya melihat seorang bocah kira2 5 tahunan menyalakan kran depan dan melihat tetesan airnya dengan terkesima..

    Saya kaget ketika disamping anak itu ada ibunya yang terkesan tidak peduli dengan kelakuan anaknya hingga saya datangi dan langsung mematikan keras serta dengan halus saya berkata dik jangan main air yah, nah baru dah tuh sang ibu berkata pada anaknya “aduhh jangan dimainin yah airnya”

    Nah ini dia nehhh, yang terkadang bikin keki….
    Jujur aja Saya merasa kesulitan kalo mau belajar diasrama ini, Sama kayak ahk uki, bahkan Saya berkeinginan untuk nge kost lagi, mengingat Saya sudah tingkat ahkir yang harus butuh konsentrasi dalam mengerjakan skripsi…

    Pesen Saya aja neh, nih hukum ekonomi yang Saya suka neh :
    “People Faces Trade Off”

    Future Leader juga manusia, Gak semua bisa kita lakukan, pasti ada pengorbanan yang harus kita berikan untuk sesuatu yang lain, nah tinggal bagaimana kitanya aja menilai kira2 apa yang paling layak dan kita inginkan untuk kita dapatkan

    So…Hadapilah kenyataan yang ada?

    AF1 sebelumnya, ini hanya perasaan hati yang dipendam lama…Tidak bermaksud menjudge siapa yang benar atau siapa yang salah…

    Solusi Kongkret :
    1. FORKITA dan buat kesepakatan
    Kesepakatan harus jelas, IYA Atau Tidak / Hitam Atau Putih jangan berbicara ditataran Grey
    2. Action

    NB: Saya mah terserah kesepakatan aja yang terjadi pada mekanisme Forkita

  16. mending jadi kancil pilek ah…aman….

  17. ya udah deh…tolong ingetin ane, kalo ane piket ane harus bersihin pekarangan…
    ‘afwan…ane minta tuker jadwal piket untuk tanggal 15 juni jadi 15 juli, tadi ga enak badan bro…gara – gara mandi kepagian…ga usah nanya kenapa!!!

  18. @tomo

    Bagus… udah ngingetin kalau Pak Taufik sudah memberikan otorisasi untuk melindungi asrama ini…

    Saatnya “a’izzatin” kepada para mufsidin itu 😀


Leave a reply to Ahmad Fikri Cancel reply

Categories